Obama dan Kritik Agresi Libya
VIVAnews - Penyerangan militer koalisi pimpinan Amerika Serikat ke Libya semakin meningkat intensitasnya dari hari ke hari. Serangan ini tak hanya membuat pusing Muammar Khadafi, tapi juga Presiden AS Barack Obama yang dikejar pertanggungjawaban oleh Kongres.
Pesawat jet tempur canggih milik tentara koalisi, AS, Inggris dan Prancis, telah berkeliaran di langit Libya sejak diterapkannya Resolusi Dewan Keamanan PBB 1973, pada Kamis, 17 Maret 2011. Resolusi ini mengatur zona larangan terbang. Artinya, semua pesawat jet tempur Libya dilarang mengudara. Jika tetap nekat, maka akan ditembak sampai binasa.
Itu bukan gertak sambal. Pesawat jet tempur pertama Libya yang melanggar, dihancurkan pada Kamis, 24 Maret 2011. Menurut laporan Telegraph, pesawat itu terdeteksi mengudara oleh sistem pelacak angkatan udara Prancis. Sesaat setelah mendarat di pangkalan udara di Misurata, jet itu dirudal oleh pesawat tempur Rafale milik Prancis, dan hancur berkeping-keping.
Sementara itu, di beberapa tempat di kota Tripoli, warga menggelar pemakaman massal korban bombardir pesawat koalisi. Menurut juru bicara pemerintah Libya, Mussa Ibrahim, korban sipil tewas akibat penyerangan itu telah mencapai 100 orang.
Mussa mengatakan serangan itu salah alamat. Aksi itu bukan melindungi warga sipil, tapi malah membunuhi mereka. Ditambah lagi, penyerangan akan semakin menguatkan dan memberikan dukungan moral bagi para pemberontak. Mereka juga memiliki persenjataan, walaupun tak sehebat tentara Libya, tapi cukup mumpuni melakukan serangan.
Tapi hal ini tak membuat penyerangan berhenti. Berdalih Resolusi DK PBB 1973, tentara koalisi menggempur berbagai titik penting pertahanan militer Libya. Paling banyak diincar adalah basis militer dan landasan pacu pesawat jet tempur Libya yang tersebar di Tripoli, maupun kota sekitarnya. Mereka mengatakan ratusan rudal dilepaskan ke tempat itu, untuk mencegah pesawat Libya mengudara. Tujuan lain adalah mematikan langkah Khadafi menurunkan pasukannya.
Memang, serangan atas Libya ini membuat kekuatan militer Khadafi berkurang pengaruhnya. Di beberapa tempat, seperti di Ajdabiya dan Benghazi, tentara Khadafi dilaporkan kewalahan. Mereka dikabarkan akan menyerah kepada tentara koalisi.
Selain diserang koalisi, tentara Khadafi di wilayah ini dilaporkan telah hilang kontak dengan markas besar. Tak lama lagi, Ajdabiya akan segera jatuh ke tangan tentara pemberontak.
Meski begitu Khadafi sepertinya tak berniat turun. Di tempat tersembunyi, dia mengirim pesannya kepada khalayak yang disiarkan di stasiun televisi pemerintah. Dengan keras dia mengatakan tak akan menyerah. Dia berjanji akan membalikkan setiap serangan yang dialamatkan kepadanya. Tak lupa sang kolonel sesumbar, bahwa pada akhirnya Libya akan menang.
"Serangan ini, dilakukan oleh sekumpulan orang-orang fasis Barat yang akan berakhir di tempat sampah sejarah," tegas Khadafi.
NATO ambil alih
Organisasi Pertahanan Atlantik Utara (NATO) sepakat memimpin operasi zona larangan terbang di Libya. Namun, NATO tak sampai ikut-ikutan Koalisi membombardir wilayah Libya.
Menurut kantor berita Associated Press, keputusan itu diumumkan Sekretaris Jenderal NATO, Anders Fogh Rasmussen, di Belgia, Kamis malam waktu setempat (Jumat dini hari WIB).
NATO diperkirakan mengambil alih kendali operasi zona larangan terbang dalam kurun waktu 72 jam. Koalisi Internasional tetap akan beroperasi, yaitu terfokus pada misi pengeboman atas kekuatan militer Khadafi dalam rangka melindungi warga sipil Libya, seperti diamanatkan dalam resolusi Dewan Keamanan PBB 1973.
"Saat ini akan ada operasi Koalisi dan operasi NATO," kata Rasmussen. "Kami sedang mempertimbangkan apakah NATO harus mengemban tanggungjawab lebih luas, sesuai resolusi Dewan Keamanan PBB. Namun, keputusan itu belum dicapai," lanjut dia.
Walaupun NATO akan memimpin operasi penegakan zona larangan terbang di Libya, tapi peran Amerika Serikat masih sangatlah vital. Padahal, sebelumnya Amerika Serikat mengatakan mereka akan berperan terbatas dalam operasi di Libya. Mereka juga tak akan menurunkan pasukan darat ke negara tersebut.
Memang benar, 75 persen penyerangan di lapangan dilakukan Inggris dan Prancis. Tapi tetap saja Amerika Serikat adalah ketua pasukan koalisi dan penggerak serangan di Libya. Sebagai catatan, Amerika Serikat adalah pelopor serangan ke beberapa kompleks militer, dan kediaman Muammar Khadafi pada pekan lalu.
Kritik buat Obama
Penerapan Resolusi DK PBB 1973 dinilai salah kaprah. Niat awal melindungi warga sipil, malah justru membantai warga sipil. Presiden Amerika Serikat Barack Obama menjawab hal ini.
Kepada kantor berita Miami Herald, Selasa, 22 Maret 2011, Obama mengatakan jatuhnya korban sipil adalah harga harus dibayar untuk menegakkan perdamaian, dan perlindungan warga sipil lebih banyak lagi.
"Aksi ini menimbulkan, sedikit, korban dari warga sipil," ujar Obama.
Sebelumnya beberapa negara Amerika Latin, diantaranya Venezuela, Bolivia, Nikaragua, Ekuador, Brazil, Argentina dan Uruguay, telah menyampaikan kritik terhadap jatuhnya korban sipil dalam penyerangan ke Libya.
Obama menanggapi kritikan ini dengan mengatakan "politik internasional selalu saja rumit. Terdapat banyak negara dengan berbagai kepentingan di dalamnya."
Obama menekankan bahwa aksi ini berada di bawah Resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB 1970 dan 1973. Dia juga mengatakan ini adalah keputusan komunitas internasional yang diambil ketika seorang pemimpin, Muammar Khadafi, menggunakan kekuatan militer untuk menggempur rakyatnya.
"Selalu saja akan ada beberapa pihak yang mengkritik apa yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya, apapun itu. Namun aksi intervensi kali ini bukan saja didukung oleh Dewan Keamanan PBB, tapi juga didukung oleh Liga Arab," ujar Obama.
Itu jawaban Obama atas kritikan dari luar. Tapi gelombang kritik dari dalam datang dengan deras, dan memojokkan sang presiden.
Sebagian besar anggota kongres Amerika Serikat dari berbagai negara bagian menolak aksi militer atas Libya. Bukan apa-apa, Obama dikatakan telah lancang mengeluarkan perintah penyerangan dengan menggunakan tentara Amerika Serikat tanpa sebelumnya meminta restu dari kongres AS.
John Boehner, anggota parlemen dari Ohio mengirimkan surat kepada Obama terkait penyerangan ke Libya. Dilansir dari laman CNN, Jumat, 25 Maret 2011, dia mengatakan "Kapasitas militer AS telah digunakan untuk berperang tanpa memberikan penjelasan benar kepada rakyat Amerika, Kongres, dan para tentara mengenai apa sebenarnya tujuan misi di Libya, dan apa peran Amerika Serikat dalam misi tersebut."
Komentar Boehner tersebut barulah satu kritik tajam, menyusul arus gencar kritik pedas lainnya.
Candice Miller, anggota kongres dari negara bagian Michigan, mengatakan Obama harus menarik semua pasukannya di Libya karena pemerintahan Obama gagal memberikan penjelasan. Obama juga tidak meminta izin terlebih dulu kepada kongres.
"Tuan presiden, anda telah gagal memberikan penjelasan yang jelas dan meyakinkan mengenai kepentingan nasional pada serangan tersebut, yang telah mengintervensi kepentingan Libya. Anda harus menarik tentara kita dari pasukan koalisi secepatnya," ujar Miller.
Komentar senada disampaikan oleh Tom McClintock, anggota kongres dari negara bagian California. Dia mengatakan Obama telah melanggar Undang-undang perang AS tahun 1973, dan pembatasan konstitusional lainnya dengan memerintahkan agresi militer.
"Tindakan presiden telah melampaui wewenang dan hak kongres AS dalam melaksanakan titah konstitusi dan tindakan tersebut bertentangan dengan hukum," ujar McClintock.
John Tierney, anggota kongres dari Salem, mengatakan kongres tidak akan tinggal diam menanggapi campur tangan AS berlarut-larut di Libya.
Dia mengatakan jika saja Obama meminta izin terlebih dulu kepada kongres sebelum memasuki Libya, sesuai yang diatur oleh konstitusi, anggota kongres akan menanyakan pertanyaan seputar misi, anggaran dan rencana menarik diri.
"Itu sebabnya masalah ini harus melalui kongres, karena sekali kau terlibat, maka akan sangat sulit menarik diri dari peperangan," ujar Tierney.
Obama dilaporkan belum berkomentar mengenai hal ini. Namun sumber dari Partai Republik mengatakan kepada CNN, Menteri Luar Negeri Hillary Clinton, Menteri Pertahanan Robert Gates, Kepala Staf Gabungan Militer Mike Mullen dan Direktur Intelijen Nasional James Clapper, akan menjelaskan kepada anggota kongres pada 30 Maret mendatang.
Ongkos mahal
Keluhan anggota kongres antara lain adalah besarnya biaya perang yang dikeluarkan oleh pemerintah Amerika Serikat. William DiMento, veteran perang yang menjadi pengacara kota Swampscott, negara bagian Michigan, mengatakan dalam sepekan, biaya perang mencapai lebih US$2 miliar, atau sekitar Rp17,4 triliun.
"Itu terlalu mahal dan tak ada alasan mengapa kita tetap bertahan di tempat itu. Saya tak rela jika tentara kita mati di negara itu," ujar Dimento.
Dia mengatakan uang sebesar itu sebaiknya digunakan menyelesaikan permasalahan di dalam negeri. Lebih baik lagi, misalnya, uang dipakai untuk menyediakan bantuan kemanusiaan pemulihan Libya.
Pihak Gedung Putih mengatakan dana misi di Libya menggunakan anggaran pertahanan dari Pentagon. Berapa ongkos yang disediakan buat menggempur tentara Khadafi itu? "Saya tak tahu jumlahnya. Saya bukan ahli ekonomi," ujar juru bicara Gedung Putih, Jay Carney.(np)
• VIVAnews
Sumber : vivanews.com
0 Response to "Obama dan Kritik Agresi Libya"
Posting Komentar